ONTOLOGI
PEMBAHASAN
A. ONTOLOGI
Menurut
bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos yang artinya ada,
dan Logos yang berarti ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Ontologi
merupakan ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Pengertian paling umum pada ontologi
adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu.
Sebuah
ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep
terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah
struktur hierarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat
digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge
base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari
suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan.
Hakekat
kenyataan atau realitas memang dapat diketahui dengan mengeggunakan ontologi
dalam tiga macam sudut pandang. Ontologi sederhana, ontologi kuantitatif dan
ontologi kualitatif. Ontologi sederhana adalah ontologi yang membedakan hal-hal
simple seperti apa warnanya? Berapa
ukuranya? Bagaimana rasanya?
Ontologi
kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau
jamak? Ontologi Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
(realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang
memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan
ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Pembahasan ontologi terkait dengan
pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika?
Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah
hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika
merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan
salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi
merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat
berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika
berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa
penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini.
B. ASUMSI
Ilustrasi :
Di suatu hari di
desa karang asem, seorang penembak jitu ditantang oleh seorang petani yang
mabuk. Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali tidak mempunyai keahlian
dalam menembak, yang mampu menembak tepat walaupun dalam keadaan mata tertutup.
Petani ini mabuk setelah minum 3 botol wiski. Hanya karena mabuk saja dia
berlagak jagoan disebabkan otaknya yang sedang nge-Fly. Kalau waras, mana mungkin berani ia menantang seorang penembak
jitu yang sudah professional dan reputasi seantero dunia.
Melihat
kejadian itu, seorang bandar taruhan menjadikan ini sebagai bahan mencari
untung dengan membuat taruhan. Dan bandar taruhan menanyakan pasaran taruhan
kepada konsultannya, menurut konsultannya apabila semua berjalan lancar maka
perbandingannya 30 banding 1 yang diramalkan petani tersebut mendapatkan tiket
menuju surga. Namun sang bandar penasaran apabila tidak lancar, karena ia ingin
memastikan modalnya aman. Jawaban konsultan itu cukup mencengangkan, konsultan
tersebut memberikan beberapa kemungkinan yang diluar logika manusia.
Yang
pertama ia mengatakan bahwa mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang
berdosa, namun si bandar taruhan tersebut menganggap itu hanya omong kosong.
Lalu yang kedua, konsultan itu memberikan kemungkinan apabila pistol itu macet,
sehingga meskipun peluang hanya 1 dalam 100 peluru yang ditembakkan dapat
menyebabkan dia hanya kebetulan berupa nasib.
1. PENGERTIAN ASUMSI
Setelah menyimak cerita tersebut kita pun mulai ikut berasumsi
(menduga-duga) manakah yang akan lolos menjadi pemenang? Si jago tembak kah
sesuai dengan hukum alam yang berlaku? Atau si petani kah karena peluang yang
dimilikinya membawa dia kepada keberuntungan?
Dari cerita di atas, bisa disimpulakan bahwa asumsi dapat diartikan
sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir karena
dianggap benar. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) asumsi adalah asum·si
n1 dugaan yg diterima sebagai dasar; 2 landasan berpikir
karena dianggap benar; meng·a·sum·si·kan v menduga;
memperkirakan; memperhitungkan; meramalkan[1]
Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu ini merupakan anggapan/
andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat penelaahan atau
pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan dalam pengembangan
ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda,
tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa.
Suharsimi menyebutkan dalam bukunya dahwa didalam penelitian,
asumsi/anggapan dasar sangat perlu untuk dirumuskan secara jelas sebelum
melangkah mengumpulkan data. Perlunya peneliti merumuskan asumsi/anggapan dasar
antara lain [2]
1. Agar ada dasar berpijak yang kokoh bagi
masalah yang sedang diteliti.
2. Untuk mempertegas variable yang menjadi
pusat perhatian.
3. Guna menentukan dan merumuskan
hipotesis.
2.
PENGGUNAAN ASUMSI
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan
dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjun, 1995):
1.
Determinisme
Determinisme adalah hukum alam yang bersifat
universal. Paham determinisme
dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes
(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang
dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan
lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan
oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. (Jujun, 1995, hal.75)
2.
Pilihan
Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat
pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. (Jujun, 1995, hal.75)
3.
Probabilistik
Posisi Probabilistic berada diantara keduannya (determministik dan
pilihan bebas), dimana posisi tersebut menyatakan bahwa gejala umum yang
universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang (probabilistik).
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan
utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah
sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya
menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus
bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum
kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan
asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas,
penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.[3]
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai
pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis
sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi
memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. [4]Karena itu;
Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal
pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang
probabilistik, atau bersifat peluang. Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam
suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang
gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan
dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit
menjadi diperlukan.
4.
PENENTUAN DAN MENGEMBANGKAN ASUMSI
Dalam penelitian kita diharuskan untuk menyusun asumsi. Hal ini sebagai
stimulus, agar kita mencari pembuktiaan sebuah kebenaran ilmiah. Dalam menyusun
asumsi ini kita tidak boleh sembarangan, akan tetapi kita harus melihat konteks
atau objek yang kita teliti. Untuk menentukan asumsi harus didasarkan atas
kebenaran yang telah diyakini oleh peniliti. Sebelum menentukan asumsi peneliti
harus lebih mengetahui terhadap sesuatu dengan cara: [5]
1.
Dengan
banyak membaca buku, surat kabar atau terbitan lain.
2.
Dengan
banyak mendengar berita, ceramah, pembicaraan orang lain.
3.
Dengan
banyak berkunjung ke tempat (lokasi penelitian).
4.
Dengan
mengadakan pendugaan meng-abstraksi berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.
Setelah kita menentukan asumsi, maka asumsi tersebut dapat dikembangkan
dengan cara:
- Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan
pengkajian disiplin ilmu.
- Asumsi ini harus operasional dan merupakan
dasar dari pengkajian teoritis
- Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif.
C. PELUANG
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) peluang /pe·lu·ang
/ 1 n kesempatan: -- yang baik jangan
disia-siakan[6] berpeluang/ber·pe·lu·ang/ v mempunyai peluang;
berkesempatan. Peluang dalam matematika juga dikatakan sebagai Probabilitas
yaitu sebagai angka yang menunjukan kemungkinan terjadinya suatu kejadian.
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan
pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang
probabilistic. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan
di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
D. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Pada saat ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis,
manusia mulai mengambil jarak dari obyek sekitar. Manusia mulai memberikan
batas-batas yang jelas kepada obyek tertentu yang terpisah dengan eksistensi
manusia sebagai subyek yang mengamati dan yang menelaah obyek tersebut. Dalam
menghadapi masalah tertentu, dalam tahap ontologis manusia mulai menentukan
batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia mengenal
wujud masalah itu, untuk kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut, ilmu
mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dapat mengerti
hakikat permasalahan yang dihadapi itu. Ilmu menyadari bahwa masalah yang
dihadapi adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat dalam dunia nyata.
Secara ontologis, ilmu membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat pada ruang jangkauan pengalaman manusia. Ilmu memulai penjelajahannya pada
pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Pembatasan ini
disebabkan karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai
alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya
sehari-hari.
Ilmu membatasi
lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode
yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Maka batas jelajah ilmu sangat sempit sekali atau hanya sebagian kecil dari
sekian banyak permasalahan kehidupan. Bahkan dalam batas pengalaman manusiapun,
ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral. Tentang
indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
Dapat
dikatakan bahwa Batas dari penjelajahan ilmu hanyalah ”Pengalaman”
manusia, yaitu mulai dari pengalaman manusia dan berhenti pada pengalaman
manusia juga. Pengalaman manusia pada dasarnya dapat diperoleh melalui panca
inderanya, oleh karena itu jika pengalaman diperoleh dengan melihat maka ”ilmu
adalah penglihatanmu”, jika penglaman diperoleh dengan mendengarkan, maka ”Ilmu
adalah pendengaranmu” begitu juga untuk indera yang lainnya. Ini
mengindikasikan bahwa ilmu sesorang mencapai batas ketika ia harus meninggalkan
dunia ini.
1.
Cabang-cabang
Ilmu
Ilmu
berkembang dengan sangat pesat, demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat
untuk men-spesialisasi-kan diri pada suatu bidang kajian yang memungkinkan
analisis, yang makin cermat dan seksama, menyebabkan obyek ontologis dari
disiplin keilmuan menjadi sangat terbatas.
Pada dasarnya,
cabang-cabang ilmu tersebut lahir dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian
berkembang menjadi rumpun Ilmu-Ilmu Alam, dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi rumpun
Ilmu-Ilmu Sosial. Ilmu-Ilmu Alam kemudian
terbagi menjadi dua kelompok, yakni Ilmu Alam dan Ilmu Hayat.
Ilmu Alam
bertujuan mempelajari tentang zat-zat yang membentuk alam semesta ini, yang
kemudian berkembang lagi menjadi Fisika (
mempelajari tentang massa, energi, dan lain-lain), Kimia (mempelajari tentang substansi zat, dan
lain-lain), Astronomi (memepelajari
tentang benda-benda langit, dan lain-lain), Ilmu Bumi (The Earth Science), dan sebagainya.
Tiap-tiap cabang itu kemudian membuat cabang-cabang baru. Fisika
misalnya, berkembang menjadi : Mekanika, Hidrodinamika, Bunyi, Cahaya, Panas, Kelistrikan dan Magnetisme, Fisika Nuklir, dan Kimia Fisika. Sampai tahap ini maka
kelompok ilmu-ilmu ini termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu murni kemudian
berkembang menjadi ilmu-ilmu
terapan. Cabang-cabang tersebut kemudian berkembang menjadi banyak
sekali.
Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah
yang bersifat dasar dan teoretis, yang belum dikaitkan dengan
masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Sedangkan ilmu terapan merupakan aplikasi
ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang mempunyai manfaat/kegunaan
praktis.
Ilmu-Ilmu Sosial berkembang agak lambat dibandingkan
ilmu-ilmu alam. Namun pada pokoknya terdapat cabang-cabang utama dalam
ilmu-ilmu sosial ini, yakni Antropologi (mempelajari
tentang manusia dalam perspektif waktu dan tempat), Psikologi (mempelajari tentang
proses mental dan kelakuan manusia), Ekonomi (mempelajari tentang manusia dalalm memenuhi
kebutuhannya lewat proses pertukaran, dll), Sosiologi (mempelajari tentang struktur organisasi sosial
kemasyarakatan, dll), Ilmu
Politik (mempelajari tentang sistem dan proses dalam kehidupan
manusia berpemerintahan dan bernegara, dll), dan sebagainya. Cabang-cabang
ilmu-ilmu sosial (social sciences) ini kemudian mempunyai cabang-cabang
lagi. Antropologi
misalnya, terpecah menjadi : Arkeologi, Antropologi Fisik, Linguistik, Etnologi, Antropologi Sosial Kultural, dan
sebagainya.
Di samping
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social, pengetahuan mencakup juga Humaniora dan Matematika. Humaniora meliputi seni,
filsafat, agama, bahasa, dan sejarah. Tetapi sejarah kadang-kadang dimasukkan juga ke dalam ilmu-ilmu
social. Sedangkan Matematika,
bukan cuma merupakan ilmu, melainkan juga cara berpikir deduktif.
Matematika itu merupakan sarana berpikir yang sangat penting dalam kegiatan
berbagai disiplin keilmuan. Termasuk kepada kelompok pengetahuan yang sudah tua
usianya, dan paling pertama berkembang. Studi Matematika dewasa ini mencakup Aritmatika, Geometri, Teori Bilangan, Aljabar, Trigonometri, Geometri
Analitik, Persamaan
Diferensial, Kalkulus, Topologi, Geometri Non-Euclid, Teori Fungsi, Probabilitas dan Statistika, Logika, dan Logika Matematis.
E. Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Ilmu
sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan prakstis yang dapat
membantu kehidupan manusia secara pragmatis. dalam mengembangkan asumsi maka
harus diperhatikan beberapa hal,pertama asumsi harus relevan dengan bidang
tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Kedua Asumsi harus disimpilkan dari
keadaan sebagaimana adanya, bukan bagaimana keadaan seharusnya.
Seorang
ilmuan harus benar- benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab ,menggunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula
konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi tidak bersifat
tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang- kadang
menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran
tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian
ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.
F. Aliran-aliran Ontologi dalam
Filsafat Ilmu
1. Sudut Pandang Ontologi
Ontologi
merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu, apakah
dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain
atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami
sebagai suatu kebulatan (holistik).
Pengertian
paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba
mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk
penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada
sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur
hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan
sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi
merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada.
Hakekat
kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:
a.
Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau
jamak?
b.
Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa
dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis.
2. Aliran-aliran Ontologi
Dalam
mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan
aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan
beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang
ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan
“Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”
a.
Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini
lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :
1.
Aliran Monoisme dalam Filsafat
Aliran
ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa
dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan
kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan
Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
a)
Materialisme dalam Filsafat
Aliran
ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran
ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.
Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan
alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370
SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan
asal kejadian alam.
b)
Idealisme dalam Filsafat
Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak.
Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia
berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah
berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat
sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2)
Aliran Dualisme dalam Filsafat
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan
spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam
ini.
Tokoh
paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani)
dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode
(1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia
menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan
Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza
(1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).
3)
Aliran Pluralisme dalam Filsafat
Aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur,
yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James
(1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal
yang mengenal.
4)
Aliran Nihilisme dalam Filsafat
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme
diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin
tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas.
Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak
dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak
akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah
Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk
kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu
dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
5)
Aliran Agnostisisme dalam Filsafat
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa
Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya
aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran
ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti,
Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak
Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain.
Berbeda
dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa
satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat
memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M),
yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia
bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme
adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui
hakikat benda, baik materi maupun ruhani.
b.
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)
Apakah
yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal
ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka.
Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh
Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur
peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
c.
Di manakah yang ada itu? (Where is being?)
Aliran
ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati,
universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat
sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual,
berubah-ubah, dan riil.
3. Manfaat Mempelajari Ontologi
Filsafat
Ontologi
yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di
antaranya sebagai berikut:
a.
Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran
yang ada.
b.
Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
c. Bisa
mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun
masalah, baik itu sains hingga etika.
[2]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002. h.58
[3]
Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu
sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h.76
[4]
Ibid.
h. 77
[5]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002 h.59
[6]
kbbi.web.id/peluang.diakses pada jumat,7 April 2017 jam 22.07
Komentar
Posting Komentar